Keputusan Gubernur Mengganti Pj Walikota Tuai Sorotan

Gubernur Sulsel, Nurdin Abdullah. (IST)

MAKASSAR – Gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel), Nurdin Abdullah memutuskan untuk mencopot Prof Yusran Yusuf dari jabatan Pj Walikota

Makassar yang baru dijabatnya selama 43 hari. Sebagai gantinya, ditunjuk Prof Rudy Jamaluddin yang saat ini menjabat sebagai Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PUTR) Provinsi Sulsel.

Pelantikan Prof Rudy Jamaluddin sebagai Pj Walikota Makassar yang baru, rencananya akan digelar Jumat (26/6) hari ini pukul 14.00 Wita di Rumah Jabatan Gubernur Sulsel.

Pengamat Politik Pemerintahan dari Universitas Muhammadiyah Makassar, Luhur Andi Prianto mengibaratkan pergantian Pj Walikota Makassar yang begitu cepat ini, seperti sebuah permainan sepak bola, dimana sang striker sudah pernah diganti.

Biasanya, kata dia, striker pengganti yang dimasukkan dianggap lebih bagus menjalankan instruksi pelatih. Kecuali, memang sang pelatih yang tidak punya instruksi dan strategi permainan yang jelas.

“Ini bikin bingung penonton, striker sementara bertarung di lapangan melawan wabah, kenapa tiba-tiba diganti? Meskipun sebenarnya, tidak hal yang betul-betul tiba-tiba dalam permainan,” kata Luhur, Kamis (25/6).

Di institusi pemerintahan, lanjut Luhur, tidak lah cukup penempatan pimpinan dilakukan hanya berdasarkan pemenuhan syarat administratif dan kedekatan personal.

Menurut dia, dengan persediaan sumberdaya yang melimpah, memang sangat berlebihan mempromosikan pejabat-pejabat yang baru bermigrasi pada formasi jabatan yang tekanan politiknya sangat kuat.

“Pejabat seperti itu sulit membangun akseptabilitas pada warna-warna politik yang beragam. Sehingga misalnya sulit membedakan pengaruh warna merah dan biru. Jabatan Pj Wali Kota Ini langgam politik. Pejabat administratif pun akan terseret pusaran arus politik elektoral. Apalagi tahapan Pilwali sudah dimulai kembali,” ujarnya.

Olehnya itu, Luhur menyebut pergantian-pergantian seperti ini hanya akan semakin memperlihatkan kualitas kepemipinan Gubernur Sulsel dalam mengawal transisi pemerintahan di Kota Makassar yang less-direction (kekurangan arah).

“Warga Makassar disuguhi kepemimpinan less-direction dan penuh ketidakpastian. Semua dibangun berbasis interest politik elektoral. Pj walikota yang datang dan pergi memang bukan pilihan warga kota. Sejatinya, kota ini butuh pemimpin yang mampu menggerakkan solidaritas sosial lintas-batas, membangun kolaborasi dan punya strategi jitu untuk bersama melawan pandemi,” ucapnya.

Kritikan terhadap keputusan Gubernur Sulsel yang kembali mengganti Pj Walikota Makassar juga datang dari Pengamat Politik Pemerintahan dari Universitas Hasanuddin, Andi Ali Armunanto. Ia mengatakan, pergantian ini tak terlepas dari lemahnya kemampuan Gubernur dalam melakukan seleksi pada proses rekrutmen sebelum penunjukan Pj Walikota.

“Kan lucu, gubernur sendiri yang tunjuk, lalu gubernur sendiri yang berhentikan. Anehnya lagi, sebelum diberhentikan banyak terjadi misalnya gubernur menyalahkan pj walikota untuk hampir semua hal di Makassar. Termasuk pandemi Corona. Saya rasa kesalahannya bukan pada Pj Walikota-nya, tapi pada orang yang memilih. Khususnya tentang kapasitas orang yang dipilih atau ditunjuknya,” kata Ali.

Ali juga melihat bahwa salah satu penyebab kondisi di Kota Makassar seperti saat ini adalah sikap Gubernur yang tidak tahu menempatkan diri dan terlalu jauh mencampuri urusan pemerintah kota, sehingga kemudian terjadi konflik kepentingan antara posisi Gubernur dengan posisi Pj Walikota.

“Karena kan semestinya gubernur tidak terlalu jauh mencampuri urusan pemerintahan kota. Karena fungsi gubernur itu hanya menjalankan fungsi koordinasi. Ini yang perlu diperhatikan. Bagaimana atasan itu mau bergerak dan mau didengarkan oleh masyarakat kalau gubernur terlalu banyak mengintervensi dan tidak memberikan keleluasaan untuk mengambil kebijakan?” imbuhnya.

“Siapapun pj walikota-nya, kalau gubernurnya tidak tahu menempatkan diri sebagai gubernur, hasilnya tetap akan sama. Yang paling kita soroti kan kegagalan Sulsel menghadapi Corona ini. Makassar sampai menjadi parah begini, kalau dirunut-runut, ini kan karena gubernurnya yang tidak konsisten. Bukan pejabatnya yang bermasalah sebenarnya,” sambungnya.

Menurut Ali, apa yang terjadi di Kota Makassar saat ini adalah murni karena ketidakprofesionalan gubernur dalam mengelola pemerintahan.

“Buktinya, kurang lebih dua tahun menjabat, masih banyak plt di dinas-dinas. Makanya saya berani bilang, sampai kapanpun, berapa kalipun diganti, kalau gubernurnya yang bermasalah, tidak tahu menempatkan diri apakah dia pemerintah kota atau pemerintah provinsi, sampaikapanpun akan tetap seperti ini,” ucapnya.

“Cara mengambil keputusan gubernur yang harusnya dievaluasi. Dan yang terpenting, tahu menempatkan diri atau memposisikan diri sebagaiseorang gubernur. Jangan sedikit-sedikit jadi gubernur, sedikit-sedikit jadi wali kota,” pungkasnya. (lin)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *