INFOKINI.ID, MAKASSAR – Ribuan buruh dan mahasiswa kembali melakukan aksi unjuk rasa di depan Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sulawesi Selatan, Jl Urip Sumoharjo, Kota Makassar, Kamis (8/10/2020).
Tuntutan mereka pun masih seperti hari-hari sebelumnya, yaitu penolakan pengesahan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja yang disahkan oleh DPR RI, pada Senin (5/10/2020).
Mahasiswa dan buruh yang melakukan aksi unjuk rasa terbagi menjadi tiga kelompok. Mereka mulai memadati kantor perwakilan rakyat tersebut sejak pukul 11.30 Wita.
Pantauan INFOKINI.ID di lapangan, para mahasiswa dan buruh itu bergiliran menyampaikan orasi atau menyuarakan aspirasi penolakan terhadap UU Omnibus Law.
Ketua Konfederasi Serikat Nusantara Sulawesi Selatan, Armianto mengatakan, UU Omnibus Law menyengsarakan rakyat kecil dan tidak pro terhadap rakyat, seperti petani, khususnya para pekerja atau buruh.
“Pengesahan ini (UU Ciptaker) sangat tidak manusiawi. Karena, kepastian kerja bagi para pekerja itu sudah tidak ada,” katanya, di sela-sela aksi unjuk rasa, Kamis (8/10/2020).
Undang-Undang Cipta Kerja, kata dia, mengebiri hak dari para pekerja, seperti tidak ada lagi kepastian status tenaga outsourcing menjadi karyawan karena tidak ada perjanjian kerja antar waktu (PKWT). Karena, hal itu diserahkan sepenuhnya oleh perusahaan.
“Undang-Undang ini bisa akan menjadikan para buruh berstatus kontrak seumur hidup, outsourcing seumur hidup,” jelas Armianto.
Bahkan lanjutnya, UU Omnibus Law juga memastikan bahwa para pekerja nantinya bisa tidak akan mendapatkan pesangon. Karena, pemberian pesangon yang diatur dalam undang-undang tersebut sesuai dengan perjanjian oleh perusahaan.
“Anggota dewan sudah mengkhianati kami sebagai rakyat,” tegasnya.
Hal senada juga diungkapkan dari Front Perjuangan Rakyat (FPR) Sulawesi Selatan, Angga yang menjelaskan bahwa, pihaknya terus meminta Undang-Undang Omnibus Law untuk dicabut.
Alasannya, menurut Angga, karena akan lebih menyengsarakan rakyat, khususnya para pekerja atau buruh. Karena akan memangkas upah para buruh.
“Kenapa? Karena upah minimum kabupaten dan kota (UMK) ditiadakan dan disatukan ke upah minimum provinsi (UMP),” jelasnya.
Menurut Angga, undang-undang itu akan memuluskan komersialisasi pendidikan. Sehingga, itu akan sangat dirasakan oleh mahasiswa sebagai pelajar. Karena akan berdampak pada uang kuliah dan sebagainya.
“Dampaknya adalah dunia pendidikan akan lebih mengabdi kepada kepentingan investor,” pungkasnya. (Muh. Saddam)
















