INFOKINI.ID, MAKASSAR— Ilham Arief Sirajuddin (IAS) mengungkapkan sikapnya terhadap pemimpin yang menitikberatkan pada pendekatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam menjanjikan peningkatan perekonomian.
Sebagai mantan Wali Kota Makassar dua periode, IAS mengaku bahwa konsep itu justru akan membuat masyarakat marah dan berteriak. Terlebih di kondisi pandemi saat ini, IAS menekankan bahwa tidak bisa memaksa rakyat untuk berkontribusi pada pemerintah.
“Yang bisa dilakukan adalah bagaimana bisa membantu masyarakat untuk bisa hidupi dirinya,” ujar IAS yang mengakui melakukan pendekatan substansi dan perasaan dalam 10 tahun kepemimpinannya.
IAS mengungkapkan hal ini, diakuinya bukan tanpa alasan. Karena menurutnya, dengan menerapkan konsep pendepatan PAD, pemerintah akan bertindak sebagai pemeras masyarakatnya.
“Jika gunakan pendekatan PAD maka masyarakat akan diperas. Itu terjadi saat 2016 lalu dimana tiba-tiba PAD meningkat 300 persen. Akibatnya masyarakat berteriak dan marah. Karena retribusi untuk mendongkrak PAD juga dikenakan kepada masyarakat kecil. Regulasi itu seharusnya diciptakan tanpa ada benturan,” jelas IAS, yang hadir bersama Syamsu Rizal (Daeng Ical) menyapa masyarakat di sekitar Warkop Camara Jalan Abdul Kadir Makassar, Minggu (15/11/2020).
IAS juga mengatakan, pemerintah yang disayangi masyarakatnya akan terlihat dari dukungan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah. Dan salah satunya bisa diraih dengan program yang bisa menghadirkan kesejahteraan bagi masyarakatnya.
“Bukan pemerintah yang mensejahterakan masyarakatnya. Tetapi masyarakatlah yang berbuat itu untuk dirinya, peran pemerintah adalah menciptakan regulasi untuk membantu masyarakat agar mampu mensejahterakan dirinya. Saat ini ciptakan program yang ringan-ringan yang bisa dipahami serta bermanfaat bagi masyarakat. Karena intinya bagaimana bisa membantu rakyat,” jelas IAS.
IAS juga mewanti-wanti hal itu kepada pasangan kandidat Calon Wali Kota dan Wawali Makassar, Syamsu Rizal alias Deng Ical dan Dokter Fadli Ananda (DILAN) sebagai calon yang gencar disosialisasikannya di setiap kesempatan.
Sementara itu Deng Ical juga dengan lugas menjabarkan mikro APBD. Menurutnya PDRB yang merupakan gambaran uang yang berputar di Makassar berada pada angka Rp165 triliun di tahun 2019. Sementara APBD Makassar cuma Rp4,3 triliun.
Maka menurutnya, ratio antara APBD dan dan PDRB hanya sekitar 2,3 persen hingga 2,4 persen.
“Uangnya pemerintah dan uang yang berputar hanya 2,3 hingga 2,4 persen saja. Dari mana logika dan rasionya, jika menganggap pemerintah itu adalah segalanya. Kita hanya pegang uang 2,3 persen lantas kita mau mempengaruhi 100 persen, ya tidak mungkin,” kata Ketua PMI Kota Makassar ini.
Justru seharusnya, kata Deng Ical, dengan performance seperti ini, kita harus membuka ruang supaya semua orang bekerja dengan maksimal. Jangan diikat, dipaksa dan menciptakan aturan dan program yang kontraproduktif.
“Sekarang tak cocok ngomong PAD dengan performace sosial saat ini. Karena dengan performace fiskalnya kita sangat tidak cocok berbicara PAD. Kalau pendapatan dari sisi ekonomi kreatif itu yang mantap dan boleh. Selain itu kita tidak bisa berasumsi di luar dari mikro dan makro dari kondisi saat ini,” katanya.
“Kalaupun nanti ada perubahan, kita menyesuaikannya dengan adanya revisi. Karena kita asumsikan semua untuk lima tahun ke depan, variabel utamanya adalah kondisi yang terjadi hari ini,” tegasnya.
Daeng Ical juga mengungkapkan bahwa tingkat pertumbuhan perekonomian Makassar berada di angka yang luar biasa dan mengalahkan provinsi, nasional, bahkan mengalahkan Tiongkok secara ketahanan atau endurancenya. Tetapi ternyata menurutnya, ini menyimpan bara konflik yang luar biasa juga ekstrimnya.
“Gambarannya kita punya pendapatan perkapita 116 juta rupiah per orang per tahun. Kira-kira sama setara dengan 9,6 juta rupiah per bulan per orang. Jadi rata-rata per rumah yang berisi 5 orang adalah 48 juta lebih per rumah perbulan. Gila tidak itu? Tetapi untuk kelas menengah. Yang formal, anggota DPRD yang bergaji antara 7 sampai 35 juta perbulan. Demikian juga dengan pejabat setingkat kadis yang bergaji antara 19 hingga 33 juta rupiah. Angka itupun masih jauh di bawah rata-rata,” tutur Deng Ical.
Menurutnya, dengan gambaran seperti itu, berarti ada kondisi yang ekstrim, dimana pendapatan perkapita kita luar biasa tingginya, tetapi untuk kelas menengah plus saja yang demografi ekonominya sudah demografi 1B masih bermasalah. “Ini berarti ada pihak yang pegang faktor produksi dan sumber daya ekonomi yang elitis. Ini menandakan ada kesenjangan. Ditambah lagi dengan generatio kita yang masih diangka 0.390 ke atas. Ini bisa jadi akan memberi masalah. Itu dalam performance ekonomi makro,” paparnya. (Elin)
















