INFOKINI.ID, MAKASSAR – Menyusuri jalan tol Insinyur Sutami Makassar dari arah pusat Kota Makassar, masyarakat bakal menjumpai papan penanda bertuliskan Ekowisata Pohon Mangrove Lantebung. Letaknya di sisi kiri jalan tol, tepat di jalan masuk Lantebung.
Bagi wisatawan yang ingin masuk ke Ekowisata Pohon Mangrove Lantebung, maka dari papan penanda itu, ada sekitar 15 menit menyusuri Jalan Lantebung yang panjang sejauh 2 dua kilometer. Sampai di ujung jalan, wisatawan akan menemukan lorong kecil jalur masuk taman ekowisata mangrove Lantebung.
Ekowisata mangrove ini lokasinya berada di sebelah utara Kota Makassar, tepatnya di Kelurahan Bira, Kecamatan Tamalanrea, Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Seperti namanya, tempat ini menawarkan keindahan ekosistem pohon mangrove yang ditanam dan dibudidaya oleh masyarakat setempat dan penggiat lingkungan pesisir.
Sesampai di sana pengunjung bakal disambut ucapan “Welcome Ekowisata Mangrove Lantebung” yang ditulis menggunakan cat warna putih pada papan kayu yang sudah dibentuk dan digantung di atas kayu tepat berada di jalan masuk jembatan.
Sementara, untuk menarik minat wisatawan, jembatan kayu itu dicat menggunakan warna mencolok menyerupai warna pelangi yang muncul saat cahaya matahari melewati butiran air hujan. Maka tak salah jika wisawatan yang pernah berkunjung menyebutnya jembatan ini dengan sebutan jembatan pelangi Lantebung.

Jembatan pelangi ini sendiri, total panjangnya 440 meter, dimana dari arah masuk hingga pusat informasi jaraknya 160 meter, ditambah 110 meter sampai ke gazebo pertama. Dari gazebo petama ke gazebo kedua yang berada di bagian utara juga sepanjang 110 meter, dan dari gazebo kedua ke gazebo ketiga yang mirip ornamen kepiting jaraknya sepanjang 60 meter.
Untuk biaya masuknya sendiri, pengunjung hanya mengeluarkan ongkos biaya karcis senilai Rp 5.000 per orang.
Selepas dari arah loket pembayaran karcis, pengunjung akan melihat jejeran perahu nelayan yang terparkir di sepanjang bahu sebelah kanan jembatan. Sementara itu di sebelah kiri jembatan pengunjung akan dimanjakan jejeran tanaman mangrove.
Dari kejauhan pun sudah terlihat para pengunjung berlalu-lalang. Tidak sedikit dari mereka yang rela mengantre untuk berswafoto dari satu spot ke spot foto lainnya. Sebab, jembatan pelangi sengaja disediakan tempat berfoto bagi para pengunjung yang ingin mengabadikan momen di tempat ini.

Menikmati Pemandangan
Ratna Sari (23) salah seorang pengunjung yang ditemui di lokasi mengaku sangat menikmati suasana sore berada di taman ekowisata mangrove ini.
Menurut dia, suasana asri khas perkampungan pesisir, sangat cocok untuk bersantai di hari libur sekolah maupun libur kerja.
Dia mengaku mengetahui keberadaan ekowisata mangrove tersebut dari media sosial dan dari cerita teman ke teman yang memang sebelumnya pernah berkunjung ke tempat ini.
“Di pesisir pantai ada hutan mangrove seperti ini. Menurutku harus selalu dilestarikan,” katanya sembari menunjuk ke arah pohon mangrove. “Ditambah lagi jembatannya yang bagus berwarna-warni memiliki daya tarik tersendiri,” tambahnya.
Begitu juga kata dia, spot-spot yang ada, membuat orang-orang yang berkunjung tertarik dan seakan tidak ingin melepaskan satu spot pun untuk ditempati berfoto.
“Tapi intinya banyak pembelajaran yang bisa diambil di sini, bagaimana masyarakat melestarikan dan menjaga hutan mangrove sehingga semua orang bisa terpesona melihatnya,” tandasnya.
Banyak wisatawan daerah yang berkunjung di tempat ekowisata Lantebung. Hanya untuk menikmati rindangnya pohon mangrove dan sejuknya hembusan angin sore yang berhembus dari arah barat, serta memandangi senja dari terbenamnya matahari.
Saat INFOKINI.ID berkunjung, sore itu matahari mulai menyembunyikan cahayanya, pertanda bahwa malam hari segera menyapa. Terlihat para pengunjung mulai bergegas untuk pulang.

Sejarah Awal Budidaya Mangrove Lantebung
Ketua Pengelola Ekowisata Mangrove Lantebung, Saraba yang sekaligus inisiator pertama adanya budidaya mangrove hingga sekarang bisa dinikmati keindahannya.
Ditemuai di kediamannya, Saraba memperlihatkan sikap yang ramah terhadap semua pengunjung yang datang ke tempat ini. Dia pun mulai mencerita awal mula dirinya memiliki niat untuk menanam mangrove sampai dibudidayakan dan bisa menjadi tempat ekowisata seperti sekarang.
Menurut Saraba, dulunya perkampungan ini pernah diterjang angin puting beliung pada tahun 1977 yang ketika itu dirinya masih anak-anak. Dari pengalaman itulah sehingga dua tahun kemudian tepatnya pada 1979, ia memulai menanam mangrove secara bertahap setiap bulannya mulai dari 100 hingga 200 pohon.
Bukan hanya itu kata dia, bahkan setiap tiba musim hujan yang bertepatan dengan air laut sedang pasang, rumah-rumah warga yang letaknya berada di bibir pantai selalu terendam air setinggi lutut orang dewasa termasuk juga rumahnya ikut terendam. Hingga tahun 2006 dia ingin memindahkan rumahnya menjauh dari pesisir pantai.
“Akhirnya ada orang Cina (investor) mau tukar guling dengan saya punya tanah. Jadi waktu itu saya berpikir daripada tiap tahun sengsara diambil air pasang, lebih baik saya pindah kesini (tempat tinggalnya sekarang),” ungkapnya sembari menunjuk ke arah lokasi rumahnya dulu yang sekarang sudah ditimbun dan dipondasi.

Namun setelah beberapa tahun kemudian lanjutanya, karena pohon mangrove yang setiap tahunnya semakin bertambah dan menjamur di daerah ini, maka bencana air pasang yang selama beberapa tahun lalu selalu menghantui masyarakat kini hampir tidak pernah lagi terjadi.
Benar kata-kata orang bijak, “Apa yang kau tanam, itulah yang kau tuai”. Inilah kata yang menggambarkan bagaimana perjuangan Saraba dan masyarakat sekitar dalam mempertahankan ekosistem pohon mangrove sampai sekarang ini.
Dari ekosistem pohon mangrove itu, muncul ide kreatif pada akhir tahun 2016 untuk menjadikan wilayah sekitar pohon mangrove sebagai kawasan ekowisata mangrove Lantebung, melalui hasil kerjasama dengan Dinas Perikanan Kota Makassar.
“Tapi waktu itu dibuka hanya sekadar kegiatan-kegiatan pertemuan,” ungkap Saraba.
Kemudian kerjasama dengan Dinas Perikanan Kota dan Kementerian Kelautan dan Perikanan berlanjut hingga 2018. “Jadi 2019 ini bagaimana upaya agar bisa mendapatkan Corporate Social Responsibility (CSR) bank. Merangsang masuk ke Bank BI kita usulkan sesuai gambar lokasi,” tuturnya.

Ekowisata Mangrove Mengedukasi Masyarakat
Sebagai seorang guru Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang tinggal di Lantebung, Saraba bukan hanya menginginkan wilayah mangrove tersebut sebagai tempat wisata semata dan terhindar dari bencana alam. Namun, ia juga menginginkan ada nilai edukasi yang didapat.
“Kita bentuk ekowisata ini utamakan edukasi tentang bagaimana mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi mengetahui apa itu mangrove. Apa fungsinya dan apa manfaatnya,” jelas Saraba tentang konsep awalnya membuat ekowisata ini.
“Jadi, sejak 2017 rata-rata mahasiswa dari Fakultas Kehutanan, Perikanan dan Kelautan begitupun Pariwisata ambil penelitian disini.”
Bahkan masyarakat yang dulu pemikirannya masih kolot dan minim pendidikan, sekarang berkat banyaknya mahasiswa yang keluar masuk baik itu kegiatan KKN maupun penelitian di tempat ini, masyarakat mulai ada kepeduliannya terhadap pendidikan bagi anak-anaknya. (Muhammad Saddam)
















