Kekerasan TP/A Gowa Berkategori Darurat, Kadis DP3A: Karena Masyarakat Telah Berani Speak Up

Pembukaan Bimtek yang diselenggarakan DP3A Gowa.(Foto: ist)

INFOKINI.ID, GOWA – Angka kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak (TP/A) menunjukkan peningkatan di tahun 2025. Peningkatan angka ini menjadikan kasus kekerasan TP/A kini berkategori darurat, baik di Kabupaten Gowa maupun dalam skala umum di Provinsi Sulawesi Selatan.

Kondisi ini melatarbelakangi Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kabupaten Gowa, menggelar Bimbingan Teknis Manajemen Pelaporan Kasus Kekerasan TP/A dan Pencegahan Perkawinan Anak Kabupaten Gowa.

Kegiatan yang digelar di Hotel Continent Makassar ini, bertujuan memperkuat kapasitas para pelaksana baik di tingkat daerah hingga unit layanan ini diikuti seluruh organisasi perempuan, Polres Gowa, pelaku UMKM, serta kelompok perlindungan anak berbasis masyarakat.

Bimtek Manajemen Pelaporan Kasus Kekerasan TP/A serta pencegahan perkawinan anak Kabupaten Gowa.(*)

Dari data DP3A Dalduk KB Sulsel, meski tiga tahun terjadi penurunan angka kasus kekerasan di Kabupaten Gowa dari 123 kasus di tahun 2023 menurun menjadi 89 kasus di tahun 2024 dan kembali menurun pada posisi 81 per Oktober 2025, namun angka tersebut masih terbilang tinggi. Karena dari 24 kabupaten/kota, Gowa masuk dalam posisi kedua teratas dengan kasus kekerasan tertinggi di Sulsel setelah Kota Makassar.

Daruratnya kondisi kasus kekerasan TP/A ini diakui Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A), Kawaidah Alham.

Meski demikian, Kawaidah menyebutkan bahwa peningkatan angka terhadap kekerasan ini, sekaligus menjadi bukti bahwa masyarakat semakin menyadari dan berani untuk mengungkapkan kasus kekerasan, baik pelaporan yang dilakukan oleh korban sendiri, ataupun masyarakat sekitar yang mengetahui tindakan kekerasan tersebut.

Kawaidah mengatakan bahwa peningkatan ini sekaligus merupakan suatu bukti bahwa masyarakat telah berani untuk speak up atas tindakan kekerasan yang dialami dan yang ada di sekitarnya. Ini disebabkan oleh mereka merasa aman untuk membuat laporan dan pengungkapan kasus.

“Ini yang akan kita terus lakukan, terutama untuk tindakan kekerasan seksual agar bisa terungkap. Ini suatu kemajuan, karena dulu kita baru tahu ada kekerasan setelah ada korban yang meninggal dunia. Dari angka kekerasan, kekerasan seksual berada di angka tertinggi, termasuk di dalamnya adalah angka perkawinan anak yang merupakan bagian dari kekerasan seksual. Dan khusus untuk kekerasan pada anak, lebih dominan disebabkan oleh orang tua yang bersikap monopoli terhadap diri anak,” jelas Kawaidah, Senin (24/11/2025).

Bimtek yang diikuti organisasi perempuan. Salah satunya Dharma Wanita Persatuan Setda Pemkab Gowa.(Foto:dok)

Kawaidah juga mengungkapkan, pencegahan dan penanganan untuk kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, khususnya perkawinan anak masih terus disempurnakan. Termasuk untuk menerbitkan perda terkait hal itu.

Menurutnya, pemahaman yang minim atau sikap ketidaktahuan ataupun bahkan mungkin tidak mau tahu terkait undang-undang terkait perkawinan anak, juga menjadi kendala. Apalagi belum ada contoh hukuman yang diberikan kepada pihak yang terlibat.

“Inilah yang akan kita perjuangkan perdanya untuk di Kabupaten Gowa. Di provinsi perda itu sudah ada. Jika nanti di Gowa perda tersebut sudah disahkan akan kita tindaklanjuti. Rencana aksi juga sudah kita susun jika memang perda tersebut ada. Jadi kita terus berupaya untuk itu,” ujarnya.

Daruratnya kasus angka kekerasan TP/A ini juga diakui Kepala DP3A-Dalduk KB Provinsi Sulawesi Selatan, Hj. Andi Mirna. Menurutnya, penerapan kondisi darurat ini berdasarkan jumlah anak yang divisum setiap harinya atas laporan bahkan pengungkapan kasus kekerasan.

“Sedikitnya lima anak setiap hari divisum untuk laporan kasus kekerasan. Dan itu baru pada satu rumah sakit, yaitu Rumah Sakit Bhayangkara. Belum pada rumah sakit lainnya, seperti Ras Labuang Baji, Ras Wahidin, serta rumah sakit lainnya. Sehingga kondisi ini kita anggap sebagai darurat,” jelas Andi Mirna, usai menjadi pemateri “Manajemen Pelaporan Kekerasan dan Pencegahan Perkawinan Anak”.

Andi Mirna di kesempatan itu juga menyebutkan, bahwa perkawinan anak yang tinggi akan berdampak pada peningkatan jumlah angka masalah lainnya, yaitu kehamilan beresiko, kematian ibu dan anak, kekerasan seksual dalam rumah tangga, stunting serta kemiskinan.

“Perkawinan anak menimbulkan masalah lainnya, baik kesehatan, ekonomi, dan juga masalah sosial. Dan untuk mencegahnya, dibutuhkan intervensi yang melibatkan seluruh unsur terkait, yaitu keluarga dan masyarakat, pemerintah daerah, sekolah, dan perubahan perilaku. Keberhasilan pencegahan dan penanganan juga dipengaruhi oleh SOP. SOP memastikan respon yang cepat, penanganan yang tepat dan perlindungan hak-hak korban,” jabarnya, yang menyebutkan bahwa Gowa masuk dalam kabupaten yang masih terbilang tinggi angka kasusnya.

“Kita berharap lembaga pelayanan bisa berperan maksimal dalam upaya pencegahan dan penanganan kasus. Lembaga pelayanan yang terdiri dari UPTD PPA/P2TP2A, puskesmas atau rumah sakit, kepolisian, dan Dinsos atau lembaga rehabilitasi berperan penting dalam upaya pencegahan dan penanganan,” tambahnya. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *