INFOKINI.ID, SEMARANG – Wakil Menteri Agama (Wamenag) Romo Muhammad Syafi’i menegaskan bahwa Direktorat Jenderal (Ditjen) Pesantren akan berdiri sebelum tahun ajaran baru 2026.
Hal ini ia sampaikan saat menjadi keynote speech pada Halaqah Penguatan Kelembagaan Pendirian Ditjen Pesantren yang digelar di UIN Walisongo Semarang, Rabu (26/11/2025).
“Alhamdulillah, Pak Prabowo yang sangat memberi perhatian besar kepada pesantren ini, sesuai harapan insan pesantren, sudah memberikan izin prakarsa untuk melahirkan Ditjen Pesantren, dan sekarang sedang berproses. Jadi sebelum tahun ajaran baru sudah ada Ditjen Pesantren, mungkin Desember atau awal Januari,” ujar Wamenag.
Romo Syafi’i menegaskan bahwa setiap pembahasan tentang pesantren tidak bisa dilepaskan dari sejarah Indonesia.
“Berbicara Indonesia itu berbicara pesantren. Berbicara pesantren itu berbicara Indonesia. Kenapa? Pertama, dari sejarahnya pesantren ini sudah lahir di abad ke-17 dan berkembang ketika banyak tokoh-tokoh kita yang pulang dari Timur Tengah. Perkembangan pesantren dimulai di abad ke-19 tahun 1800-an,” jelasnya.
Ia menyampaikan bahwa para pendiri bangsa yang mencetuskan kemerdekaan sebagian besar merupakan alumni pesantren. Peran pesantren tidak hanya dalam memperjuangkan kemerdekaan, tetapi juga mempertahankannya.
“Setelah merdeka tahun 1945, ketika penjajah ingin kembali menancapkan penjajahannya ke Indonesia, lagi-lagi yang bergerak adalah pondok pesantren. Yang kemudian terkenal melakukan resolusi jihad tanggal 22 Oktober 1945. Dari resolusi jihad itulah ada peristiwa 10 November yang hari ini kita kenal dengan Hari Pahlawan. Jadi Hari Pahlawan itu berawal dari resolusi jihad dan sekarang dikenal dengan Hari Santri,” paparnya.
Menurutnya, sejak masa kemerdekaan hingga kini pesantren tetap berdiri kokoh sebagai lembaga pendidikan. Namun perhatian pemerintah terhadap kelembagaan pesantren baru muncul pada awal 1970-an dengan dibentuknya Kasubdit Pesantren.
Pada masa Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), struktur tersebut meningkat menjadi direktorat setara eselon II di bawah Dirjen Pendidikan Islam.
Wamenag menilai kondisi ini sudah tidak relevan sejak terbitnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren. Berdasarkan undang-undang tersebut, pesantren memiliki tiga fungsi utama: pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat.
“Dari situ saja kita sudah mudah melihat bahwa tidak cocok pesantren berada di bawah Pendis. Dia harus berdiri sendiri. Karena direktur itu tidak boleh membuat program, dia pelaksana program yang dibuat oleh dirjen. Jadi kalau program cuma pendidikan, padahal pesantren fungsinya tiga, tidak layaknya bisa berkembang,” tegasnya.
Romo Syafi’i juga menjelaskan bahwa upaya mendirikan Ditjen Pesantren telah dilakukan sejak era Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, dilanjutkan Prof. Fahrurrozi (Menag 2000–2001), hingga Menteri Agama Nasaruddin Umar. Namun semuanya belum membuahkan hasil. Akhirnya, kata Wamenag, proses itu menemukan titik terang setelah ia bertemu Menteri Sekretaris Negara.
“Yang akhirnya berhasil membawa prakarsa Ditjen Pesantren yang sudah ditandatangani Presiden. Di Hari Santri 22 Oktober saya umumkan di Lapangan Banteng surat izin prakarsa pendirian Ditjen Pesantren,” ungkapnya.
Baginya, pendirian Ditjen Pesantren bukanlah sebuah keistimewaan, melainkan hak pesantren.
“Menurut saya ini bukan perjuangan yang istimewa. Itu memang haknya pesantren,” tutupnya.
Turut hadir pada kegiatan ini, Rektor Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, Prof. Dr. H. Nizar, yang diwakili oleh Wakil Rektor I Prof. Muhsin Jamil; Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Tengah, Dr. H. Syaiful Mujab; jajaran Direktorat Pesantren Kementerian Agama yang diwakili oleh Kasubid Pendidikan Diniyah Takmiliyah dan Pendidikan Al-Qur’an, Azis Syaifuddin; Staf Khusus Wakil Menteri Agama Republik Indonesia, Nona Gayatri Nasution; serta Tenaga Ahli Wakil Menteri Agama, Junisap Akbar.
















