INFOKINI.ID, GOWA– Dinas Pariwisata dan Kabudayaan (Disparbud) Kabupaten Gowa menggelar seminar koleksi dan budaya di Museum Balla Lompoa. Seminar benda koleksi yang ada di Museum Balla Lompoa ini menjadi bagian rangkaian peringatan Hari Jadi Kabupaten Gowa Ke-704 tahun 2024 ini. Salah satu benda koleksi yang disemnarkan adalah Payung La’lang Sipue, yang merupakan payung adat yang khusus digunakan saat pelantikan para raja. Seminar yang dihadirkan Disparbud Gowa ini bertujuan untuk mencari data, informasi dan narasi sebanyak-banyaknya yang valid tentang sejarah koleksi, khususnya terkait Kerajaan Gowa yang ada di Museum Balla Lompoa. Budayawan dan peneliti budaya juga dihadirkan dalam seminar ini.

Seperti yang diungkapkan Kepala Pengelola Museum sekaligus Kabid Kebudayaan Disparbud Gowa, Ikbal Dg Tiro, di sela seminar budaya, Selasa (12/11/2024) di Museum Balla Lompoa. Ikbal mengungkap bahwa seminar ini juga untuk menepis isu dan informasi yang salah terkait sebuah koleksi. Kewajiban kami dari Disparbud Gowa dan pengelola museum untuk mencari informasi yang valid dan update tentang koleksi yang ada, diantaranya Payung La’lang Sipue. Seminar ini kami angkat agar mendapatkan narasi dan informasi yang benar tentang payung adat ini. Karena masyarakat, khususnya generasi muda kita di Gowa ini, harus tahu sejarah dan budaya yang kita miliki. Dalam kajian dan seminar ini juga diperoleh informasi dan bantahan atas isu yang beredar tentang Payung La’lang Sipue yang menyatakan bahwa payung ini digunakan untuk pelantikan raja yang darah birunya tak lengkap. Dan itu tidak benar,” tegas Ikbal.
Diungkapkannya juga hal menarik soal kajian payung adat ini, yang kemudian terungkap bahwa payung ini telah digunakan pada zaman Sultan Hasanuddin. Narasi ini dilatarbelakangi oleh bentuk dan desainnya yang sederhana. “Tapi yang menarik adalah banyak informasi baru terkait Payung La’lang Sipue ini tentang kapan digunakan. Ada dua argumen, yaitu yang menyatakan digunakan pada zaman Sultan Hasanuddin berkuasa. Ada juga yang menyatakan digunakan pada zaman berkuasanya kakeknya Sultan Hasanuddin. Tetapi dengan bukti hasil analisa dan pembahasan serta argumen seluruh yang hadir dalam kajian, maka disepakti bahwa payung ini digunakan pada zaman Sultan Hasanuddin berkuasa dengan alasan desain dan bentuknya yang sederhana dan hanya terbuat dari daun lontara. Itu adalah kesederhanaan seorang raja yang dibuktikan oleh Sultan Hasanuddin. Intinya kita dapatkan informasi sekaligus mengklarifikasi isu tak benar tentang sejarah koleksi yang ada,” papar Ikbal.
Selain Payung La’lang Sipue, ada juga seminar aksara lontara, kajian tentang Karaeng Patingalloang yang merupakan Raja Tallo dan pahlawan nasional dari Kabupaten Gowa. “Dari sisi adat budaya, kita kupas juga tentang asal usul urgensi dari Tari Peppe Pepperi Makka. Tarian ini menarik karena ada dua daerah yang mengklaim. Tapi intinya tari ini adalah milik rakyat Gowa. “Seminar ini menggali kebenaran dan informasi akurat terhadap suatu budaya dan koleksi,” jelasnya.(*)
















